Tubuhnya yang besar tampak dominan di atas panggung. Berbalut baju pangsi hitam, Taufik Faturohman (51) memegang seutas tali. Sembari memegang tali itu setinggi dada dengan kedua tangannya, Taufik pun mulai bercerita dalam bahasa Sunda. Taufik bercerita soal ada seorang yang akan bunuh diri dengan menggunakan tali yang dipegangnya.
”Jadi teu? (Jadi tidak?)” teriak seorang penonton pertunjukan sulap dan dongeng di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung beberapa waktu lalu. Ternyata, orang itu tidak jadi bunuh diri karena tali itu malah diikatkan di perut, bukan di leher. Kenapa di perut?
”Ceunah mun dibeungkeut di beuheung mah sesek (Kalau diikat di leher bikin sesak napas),” kata Taufik. Penonton pun tertawa.
Sembari diiringi tawa penonton, Taufik pun mulai beraksi memainkan kemampuan sulapnya menggunakan tali yang dipegangnya. Ia mengambil gunting dan memotong salah satu bagian tali. Tali pun terlihat terpotong menjadi dua bagian.
”Lihat terpotong kan? Tapi jangan khawatir, saya sambung lagi,” katanya. Ia lantas membuat sambungan antartali. Ikatan itu sempat ia perlihatkan kepada penonton. Namun, tidak lama kemudian, dengan satu kibasan tangan kanan, penonton dibuat terperangah karena dari potongan tali itu tidak terlihat sambungan apa pun.
”Sebenarnya saya hanya memotong tali lain yang lebih pendek, tetapi saya tutupi tangan sehingga tidak kelihatan,” kata Taufik membuka rahasianya di tengah penonton yang berdecak kagum. Mimik penonton pun lantas berbeda, kesal, heran, atau gembira.
Terancam punah
Pertunjukan yang diperagakan Taufik itu dinamakan sudong alias sulap dan dongeng. Dipopulerkan pertama kali tahun 2000, konsepnya menggabungkan sulap dengan dongeng atau sastra Sunda lainnya.
Ketua Komunitas Sulap Bandung (KSB) ini mengatakan, sudong muncul dari rasa prihatin pesulap dan pemerhati bahasa Sunda terkait laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2000. Disebutkan, bahasa Sunda ada di peringkat ke-32 dalam jumlah pengguna. Dari sekitar 40 juta penduduk Jawa Barat, hanya 17 juta orang yang menggunakan bahasa Sunda.
Meski sangat prihatin, Taufik sadar tidak mudah membiasakan orang Sunda berbahasa Sunda. Bahasa ibu sering kali dianggap kuno. Akibatnya, bahasa Sunda sedikit demi sedikit kehilangan penuturnya. Padahal, lewat bahasa Sunda, penggunanya bisa mengetahui nilai luhur yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah uji coba menggabungkan sastra Sunda dengan beberapa pertunjukan kontemporer, akhirnya dipilih sulap. Ia yakin sulap bisa dinikmati segala usia dan mulai digemari masyarakat.
Menurut dia, sulap biasanya digabungkan dengan beberapa sastra Sunda, seperti asmarandana, pupuh, hingga aransemen musik populer dengan kecapi. Salah satu contoh adalah penyajian dongeng tentang ”Nini Anteh Terbang ke Bulan”. Setelah dongeng dibacakan, pesulap menyajikan sulap terkait cerita. Bila ceritanya tentang tokoh utama yang bisa terbang, pesulap akan menyajikan kemampuan ilusi terbang.
Konsep sudong pun digagas dengan sasaran utama generasi muda, khususnya siswa sekolah menengah atas. Ada beberapa pakem yang harus ditaati dalam pertunjukan sudong. Salah satunya, memudahkan pengucapan undak usuk basa Sunda. Undak usuk basa menyebabkan masyarakat kesulitan menempatkan bahasa Sunda. Akibatnya, minat berbahasa Sunda berkurang.
Penyampaian sudong yang aplikatif, salah satunya konsisten menggabungkan sulap atau lawakan segar. Sudong menabukan bentuk hiburan bersifat jorok yang kerap justru menghilangkan bentuk dan tujuan sudong.
”Dengan segala pakem di atas, biasanya akan lahir kolaborasi dan kreativitas yang positif,” ujar Direktur penerbit buku berbahasa Sunda, CV Geger Sunten, ini.
Mereka mengadakan pertunjukan di beberapa daerah, seperti Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Bandung Barat, bekerja sama dengan guru bahasa Sunda yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda. Guru biasanya mempromosikan pertunjukan sudong kepada para muridnya.
Dalam satu kali pertunjukan, Taufik mengatakan, penyajian sudong bisa dilakukan sendiri atau dalam kelompok besar. Dalam satu kelompok, biasanya beranggotakan 30 orang yang terdiri dari pendongeng, pesulap, nayaga, dan kru pembantu umum.
Salah satu pesulap alumnus sudong antara lain Rizki Siti Fatimah alias Rizuki, juara The Master II, sebuah acara sulap di televisi. Dalam 1,5 jam pertunjukan biasanya ada 70 atraksi sulap dan 30 bentuk sastra Sunda yang disajikan. Tiket menonton pun sengaja dibuat tidak gratis. Penonton harus membayar Rp 10.000 per orang. Nantinya, uang tiket dibagi rata rombongan sudong dan guru MGMP Bahasa Sunda di masing-masing daerah.
”Sejak awal sambutan, mereka sangat antusias. Hingga kini, penontonnya 1.000-2.000 orang per hari,” kata Taufik. Dia biasanya menyajikan sudong selama tiga hari di satu daerah.
Porsi diperbanyak
Taufik mengatakan, pemahaman bahasa Sunda, baik murid maupun guru, semakin positif. Pengawas Lembaga Basa dan Sastra Sunda ini mengatakan, murid dan guru semakin memahami bahasa dan sastra Sunda.
Namun, Taufik masih belum puas. Alasannya, sebagian besar penyajian sudong masih didominasi sulap. Perbandingannya, 30 persen sastra Sunda dan 70 persen sulap. Ia berharap ke depan perbandingannya harus sastra Sunda yang dominan.
Selain itu, ia kini juga tengah menggagas terciptanya lembaga pendidikan formal sulap setingkat akademi. ”Sulap tidak berbeda dengan seni lainnya, seperti teater dan tari, yang bisa dijual dan memberikan banyak manfaat positif bagi banyak orang,” kata penulis beberapa buku pengajaran bahasa Sunda, seperti Piwulang Basa, Gapura Basa, dan Pamegar Basa itu.
”Jadi teu? (Jadi tidak?)” teriak seorang penonton pertunjukan sulap dan dongeng di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung beberapa waktu lalu. Ternyata, orang itu tidak jadi bunuh diri karena tali itu malah diikatkan di perut, bukan di leher. Kenapa di perut?
”Ceunah mun dibeungkeut di beuheung mah sesek (Kalau diikat di leher bikin sesak napas),” kata Taufik. Penonton pun tertawa.
Sembari diiringi tawa penonton, Taufik pun mulai beraksi memainkan kemampuan sulapnya menggunakan tali yang dipegangnya. Ia mengambil gunting dan memotong salah satu bagian tali. Tali pun terlihat terpotong menjadi dua bagian.
”Lihat terpotong kan? Tapi jangan khawatir, saya sambung lagi,” katanya. Ia lantas membuat sambungan antartali. Ikatan itu sempat ia perlihatkan kepada penonton. Namun, tidak lama kemudian, dengan satu kibasan tangan kanan, penonton dibuat terperangah karena dari potongan tali itu tidak terlihat sambungan apa pun.
”Sebenarnya saya hanya memotong tali lain yang lebih pendek, tetapi saya tutupi tangan sehingga tidak kelihatan,” kata Taufik membuka rahasianya di tengah penonton yang berdecak kagum. Mimik penonton pun lantas berbeda, kesal, heran, atau gembira.
Terancam punah
Pertunjukan yang diperagakan Taufik itu dinamakan sudong alias sulap dan dongeng. Dipopulerkan pertama kali tahun 2000, konsepnya menggabungkan sulap dengan dongeng atau sastra Sunda lainnya.
Ketua Komunitas Sulap Bandung (KSB) ini mengatakan, sudong muncul dari rasa prihatin pesulap dan pemerhati bahasa Sunda terkait laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) tahun 2000. Disebutkan, bahasa Sunda ada di peringkat ke-32 dalam jumlah pengguna. Dari sekitar 40 juta penduduk Jawa Barat, hanya 17 juta orang yang menggunakan bahasa Sunda.
Meski sangat prihatin, Taufik sadar tidak mudah membiasakan orang Sunda berbahasa Sunda. Bahasa ibu sering kali dianggap kuno. Akibatnya, bahasa Sunda sedikit demi sedikit kehilangan penuturnya. Padahal, lewat bahasa Sunda, penggunanya bisa mengetahui nilai luhur yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah uji coba menggabungkan sastra Sunda dengan beberapa pertunjukan kontemporer, akhirnya dipilih sulap. Ia yakin sulap bisa dinikmati segala usia dan mulai digemari masyarakat.
Menurut dia, sulap biasanya digabungkan dengan beberapa sastra Sunda, seperti asmarandana, pupuh, hingga aransemen musik populer dengan kecapi. Salah satu contoh adalah penyajian dongeng tentang ”Nini Anteh Terbang ke Bulan”. Setelah dongeng dibacakan, pesulap menyajikan sulap terkait cerita. Bila ceritanya tentang tokoh utama yang bisa terbang, pesulap akan menyajikan kemampuan ilusi terbang.
Konsep sudong pun digagas dengan sasaran utama generasi muda, khususnya siswa sekolah menengah atas. Ada beberapa pakem yang harus ditaati dalam pertunjukan sudong. Salah satunya, memudahkan pengucapan undak usuk basa Sunda. Undak usuk basa menyebabkan masyarakat kesulitan menempatkan bahasa Sunda. Akibatnya, minat berbahasa Sunda berkurang.
Penyampaian sudong yang aplikatif, salah satunya konsisten menggabungkan sulap atau lawakan segar. Sudong menabukan bentuk hiburan bersifat jorok yang kerap justru menghilangkan bentuk dan tujuan sudong.
”Dengan segala pakem di atas, biasanya akan lahir kolaborasi dan kreativitas yang positif,” ujar Direktur penerbit buku berbahasa Sunda, CV Geger Sunten, ini.
Mereka mengadakan pertunjukan di beberapa daerah, seperti Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Bandung Barat, bekerja sama dengan guru bahasa Sunda yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda. Guru biasanya mempromosikan pertunjukan sudong kepada para muridnya.
Dalam satu kali pertunjukan, Taufik mengatakan, penyajian sudong bisa dilakukan sendiri atau dalam kelompok besar. Dalam satu kelompok, biasanya beranggotakan 30 orang yang terdiri dari pendongeng, pesulap, nayaga, dan kru pembantu umum.
Salah satu pesulap alumnus sudong antara lain Rizki Siti Fatimah alias Rizuki, juara The Master II, sebuah acara sulap di televisi. Dalam 1,5 jam pertunjukan biasanya ada 70 atraksi sulap dan 30 bentuk sastra Sunda yang disajikan. Tiket menonton pun sengaja dibuat tidak gratis. Penonton harus membayar Rp 10.000 per orang. Nantinya, uang tiket dibagi rata rombongan sudong dan guru MGMP Bahasa Sunda di masing-masing daerah.
”Sejak awal sambutan, mereka sangat antusias. Hingga kini, penontonnya 1.000-2.000 orang per hari,” kata Taufik. Dia biasanya menyajikan sudong selama tiga hari di satu daerah.
Porsi diperbanyak
Taufik mengatakan, pemahaman bahasa Sunda, baik murid maupun guru, semakin positif. Pengawas Lembaga Basa dan Sastra Sunda ini mengatakan, murid dan guru semakin memahami bahasa dan sastra Sunda.
Namun, Taufik masih belum puas. Alasannya, sebagian besar penyajian sudong masih didominasi sulap. Perbandingannya, 30 persen sastra Sunda dan 70 persen sulap. Ia berharap ke depan perbandingannya harus sastra Sunda yang dominan.
Selain itu, ia kini juga tengah menggagas terciptanya lembaga pendidikan formal sulap setingkat akademi. ”Sulap tidak berbeda dengan seni lainnya, seperti teater dan tari, yang bisa dijual dan memberikan banyak manfaat positif bagi banyak orang,” kata penulis beberapa buku pengajaran bahasa Sunda, seperti Piwulang Basa, Gapura Basa, dan Pamegar Basa itu.
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 September 2010
Tidak ada komentar: